Sumber: Hidayatullah.com
Tanggal: Oktober 1999/Jumadil Akhir-Rajab 1420
Tanggal: Oktober 1999/Jumadil Akhir-Rajab 1420
Desember ini (1999 red), Melbourne akan menjadi tuan
rumah ijtima’ (pertemuan) jamaah tabligh dari seluruh benua Australia,
termasuk negara-negara kepulauan Pasifik Selatan. Berikut catatan Sahid
setelah mengikuti kegiatan mereka, Oktober lalu.
Islam bukanlah gejala baru di Australia. Masuknya
Islam ke benua Aborigin ini hanya berselang satu abad setelah datangnya
orang-orang Inggris pertama di abad ke-18. Jumlah ummat Islam di
Australia diperkirakan sekarang mencapai angka 300 ribuan. Dengan
sejarah yang panjang dan jumlah yang tidak lagi sedikit, wajarlah bila
tingkat keragamannya pun tinggi. Dari lapisan muslim yang masih taat dan
aktif berdakwah, sampai yang tinggal Islam KTP-nya saja ada.Bahkan, ada
yang menjawab salam pun sudah tak bisa.
WARNA BARU.
Di tengah situasi itu,
sejak awal tahun 1970-an, gerakan jamaah tabligh menggoreskan warna baru
dalam perkembangan peta ummat Islam di Australia.
Setidaknya, sejauh pengamatan dan keterlibatan Sahid
selama hampir 4 bulan di Australia, tabligh telah menjadi suatu gerakan
dakwah yang sangat dinamis sekarang dan di masa mendatang.
Dilahirkan di India, gerakan ini merupakan hasil
ijtihad seorang ulama bernama Maulana Ilyas, sekitar 70 tahun yang
silam. Gagasannya sederhana, namun sangat tajam dan efektif. Yaitu
meluangkan waktu untuk sepenuhnya berada di dalam atmosfir dien di
masjid dalam waktu tertentu. Targetnya, agar manusia makin faham akan
tujuan penciptaan dirinya di muka bumi. Sebuah persoalan yang sangat
fundamental.
Sasaran sekunder, memindahkan suasana dien tadi dari
masjid ke lingkungan manapun di luar masjid, terutama ke rumah. Setiap
orang disarankan meluangkan waktu setidaknya dua jam sehari.Isinya
berta’lim, membaca hadits, mengaji Qur’an, dan berpikir mengenai
bagaimana syiar Islam. Lalu berjaulah, mengunjungi rumah-rumah ummat
Islam di sekitar masjid setidaknya seminggu sekali. Lebih jauh lagi,
keluar di jalan Allah setidaknya tiga hari dalam sebulan, empat puluh
hari dalam setahun, dan empat bulan dalam seumur hidup.
Kesan pertama dari penampilan fisik mereka yang
memakai gamis atau jubah, surban, dan memelihara janggut, memang
merupakan sunnah-sunnah yang sudah asing bagi kebanyakan ummat Islam.
Tetapi aktivis tabligh yakin, dengan niat yang ikhlas dan akhlak yang
baik, kesan ‘asing’ itu akan segera hilang.
Kini poros India-Pakistan-Bangladesh, tempat gerakan
ini berbasis, menjadi semacam base camp bagi para aktivis tabligh.
Setiap orang disarankan meluangkan empat bulan khuruj-nya ke tiga negara
di Asia Selatan tersebut. Kenapa harus ke sana? Zakaria, mahasiswa
Charles Sturt University yang juga seorang karkun (sebutan bagi aktivis
tabligh; bahasa India) menerangkan kepada Sahid,
“India-Pakistan-Bangladesh bisa diibaratkan sebagai centre of excellence
sebagaimana Universitas Al-Azhar, Madinah, Harvard, Oxford, atau MIT
bagi ilmu-ilmu.”
Aktivis tabligh didorong untuk berangkat ke sana agar
kualitasnya meningkat. Bedanya, kalau di universitas dunia kita belajar
ilmu, di India-Pakistan-Bangladesh kita belajar amal akhirat, kata
Zakaria. Awal tahun ini, jaringan televisi kabel ternama CNN melaporkan
‘the second biggest muslims gathering after hajj’ di Pakistan, yang tak
lain adalah ijtima’ jamaah tabligh ini untuk tingkat dunia. Sekitar dua
juta orang diperkirakan berkumpul pada saat itu.
DARI WAGGA KE MELBOURNE.
Bagi
kota-kota kecil seperti Wagga-Wagga, tempat Sahid menetap, Melbourne
sebagai markas telah menjadi semacam India-Pakistan-Bangladesh-nya
Australia.
Sore itu di awal Oktober, saya dan Raja Shahruddin,
mahasiswa asal Malaysia, berencana bergabung dengan markas jamaah
tabligh di Melbourne. Sebelum kami bertolak dari surau kampus, ada bayan
hidayah (semacam briefing) dari seorang brother di Wagga. Isinya yang
utama ada tiga, senantiasa meluruskan niat karena Allah; bahwa
perjalanan ini untuk memperbaiki kualitas iman pada diri sendiri, baru
yang berikutnya untuk mengajak orang lain; dan terakhir,
petunjuk-petunjuk teknis mengenai hubungan dengan manusia lain.
Misalnya, agar menjaga mulut mengurangi percakapan
tentang dunia selama perjalanan. Agar memperbanyak dzikir dan doa karena
orang yang ada di jalan Allah doanya maqbul, dan yang semacamnya.
Lepas ashar kami bertolak diiringi doa. Perjalanan
mobil Wagga-Melbourne petang itu kami kebut lima jam. Berbeda dengan di
Indonesia, jalan bebas hambatan dari Albury, di perbatasan New South
Wales dan Victoria, ke Melbourne yang jaraknya 350 kilometer gratis. Tak
ada bayar-bayaran tol. Lansekap indah alam pedesaan, kerumunan domba,
ladang gandum serba luas, padang stepa dan bebukitan hijau permai New
South Wales-Victoria, ujung-ujungnya bertemu dengan layar langit yang
biru sempurna. Semua cuma bisa dinikmati sebentar. Hujan lebat dan
gelapnya malam segera menyergap Nissan Bluebird station milik Shah yang
meluncur cepat.
Melbourne dingin malam itu, hampir seperti di saat
winter. Trem-trem listrik masih beringsut menyusuri jalan-jalan kota dan
kawasan suburban. Merkuri ribuan watt dan lampu-lampu kota meredam
cahaya gemintang di langit Kutub Selatan.
Hawa dingin tadi segera terusir oleh suasana hangat
begitu kami memasuki masjid Umar ben-Khattab, di Preston. Masjid waqaf
pemerintah Arab Saudi ini selesai dibangun enam tahun silam. Kini
menjadi markas jamaah tabligh di seluruh Melbourne dan Australia. Setiap
Jumat malam mereka berkumpul dan beritikaf di sini. Sebuah kaligrafi
kain ukuran besar dengan warna lembut tergantung persis di atas mihrab.
Tulisannya, “Fabi ayyi aalaa i rabbikumaa tukadzdzibaan, maka nikmat
Tuhanmu yang mana lagi yang hendak kau dustakan?”
PAKAIAN YANG SAMA.
Di depan mihrab,
seorang tua berjanggut putih dari Srilanka sedang menyampaikan bayan
(ceramah) dibantu seorang penerjemah. Tak kurang dari dua ratus orang
duduk rapat-rapat, tekun mendengarkan ceramah itu.
Mereka berasal dari berbagai bangsa imigran seperti
dari Asia Tenggara, Asia Selatan, Timur Tengah, Eropa, Afrika, dan
banyak lagi termasuk Australia sendiri. ‘Pakaian’ mereka semua sama;
Islam. Masya Allah, masya Allah! Rasanya seperti bukan di Melbourne.
Rasanya seperti berada di salah satu sudut masjid Nabawi, di Madinah
Al-Munawwarah.
Usai shalat Isya’, makan malam bersama. Duduk
berjajar, menunggu nampan datang sambil berdoa, lalu makanan satu nampan
di makan tiga atau empat orang. Mulai sikap kepada makanan sampai cara
duduk, semua mengikut sunnah.
Tiba-tiba sebuah suara
orang Jawa yang sangat medok mengagetkan saya. “Anda dari Indonesia kan?
Ini saya kasih tahu!” kata seorang lelaki tersenyum, sambil menyodorkan
sebuah nampan penuh dengan nasi dan sayur tahu. Waduh, ini lidah saya
sudah empat bulan tak ketemu tahu. Alhamdulillah.
Sebelum tidur, ada pembacaan hayatush shahabah, kisah
kehidupan para sahabat Nabi, lalu ada kalkuzari, semacam laporan
perjalanan. Malam itu seorang brother keturunan Eritrea memberi laporan
khuruj-nya dari Kaledonia Baru, sebuah negara kepulauan di Pasifik
Selatan.
Diceritakannya betapa masyarakat muslim di wilayah
bekas jajahan Prancis itu, yang terdiri dari keturunan India dan Jawa,
telah jauh dari Islamnya. Merasa senang akan kedatangan
saudara-saudaranya dari Melbourne, mereka minta lain kali didatangkan
jamaah lagi.
Paginya, sehabis shubuh, seorang brother asal Bosnia
yang lahir di Australia memberikan bayan shubuh. Rupanya ia baru saja
pulang dari kampung ayah ibunya Bosnia-Herzegovina, memimpin sebuah
jamaah tabligh pertama yang datang setelah perang berhenti di kawasan
Balkan.
LUPA DUNIA ?
Tapi apa betul para
aktivis tabligh yang ‘selalu ingat mati’ ini melupakan kehidupan dunia?
Tudingan ini hampir tak pernah serta-merta mereka bantah dengan ucapan.
Silakan dinilai sendiri.
Selama di masjid mereka tak pernah bicara bisnis.
Tapi Mobil-mobil macam Toyota Tarago station yang di Jakarta tergolong
mewah, Toyota Cressida, Honda Civic Genio dan merek-merek wah lainnya
tiap Jum’at malam nangkring di halaman masjid Preston. Itu saja bisa
menunjukkan cita rasa mereka pada teknologi maju, sejauh bisa
difungsikan di jalan Allah.
Para karkun ini juga dikenal sebagai pekerja keras di
bidangnya masing-masing. Ada yang supir taksi, tukang kayu, juragan
butchery (rumah pemotongan hewan ternak), insinyur, birokrat, pedagang
dan lain-lain. Mahasiswa yang aktif dalam gerakan inipun, meski
rata-rata low profile, di kampus punya prestasi yang selalu bisa
dibanggakan. Abdul Razak, mahasiswa ilmu-ilmu sosial di Charles Sturt
University, merasa tak puas jika tugas-tugas yang dikerjakannya tak
mendapat predikat excellent. “Prestasi belajar juga bagian dari dakwah
kita kepada teman lain,” katanya merendah. Mereka dikenal mahasiswa yang
belajar dengan disiplin spartan. Di Wagga, beberapa mahasiswa yang
aktif bertabligh biasa mengorganisasi kegiatannya dengan telepon genggam
yang bukan lagi barang mewah.
Di Australia sendiri, sejak awal tahun 1970-an,
gerakan ini berkembang pesat hingga sekarang. Dipimpin oleh Syaikh
Muhtaz asal Mesir, pusatnya di Melbourne tidak lagi hanya mengarahkan
sasaran dakwahnya ke Melbourne, Sydney, Perth, Darwin, dan kota-kota di
pulau Australia.
Tapi juga melebar ke kepulauan Pasifik Selatan,
seperti Vanuatu, Samoa, Fiji, Kaledonia Baru, ke China, Eropa, Afrika,
dan Asia Tenggara. Ini terlihat dari pembicaraan yang berkembang dalam
musyawarah bulanan yang sempat Sahid ikuti.
Musyawarah ini berlangsung di kawasan Folkner, di
pinggiran Melbourne.Markas Tabligh Australia yang baru di kawasan ini
adalah bekas komplek sekolah dasar di atas sebidang tanah seluas
kira-kira 3 hektar.
Sehari-hari tempat ini dipakai untuk madrasah diniyah
bagi anak-anak para karkun. “Sedang diusahakan agar madrasah ini
disamakan statusnya dengan sekolah dasar umum,” jelas Ruslan, seorang
karkun asal Malaysia. Dalam musyawarah bulanan tadi, masing-masing pusat
gerakan di Melbourne memberikan laporan dan rencana-rencana kegiatan
kepada Syaikh Muhtaz dalam suatu forum terbuka. Lalu Amir Shaf -sebutan
bagi pemimpin markas- mengarahkan pembicaraan pada rencana dakwah ke
luar Australia. Ada beberapa kelebihan Australia dalam hal dakwah
regional dan internasional ini.
Pertama, para karkun Australia menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar utama, yang merupakan bahasa internasional.
Kedua, kebanyakan aktivis tabligh di Australia adalah
keturunan kaum imigran dari berbagai belahan dunia. Mereka akan menjadi
pasukan dakwah yang ‘kuat’ secara psikologis bila dikirimkan ke tanah
kakek-neneknya. Contohnya Lukman, 39, keturunan Italia bermata abu-abu
yang lahir di Australia. Kepada Sahid ia membagi pengalamannya baru-baru
ini ber-jaulah ke kampung ibu-bapaknya di kepulauan Sisilia, gudangnya
mafia dan gangster kelas kakap. Katanya, kini di seluruh Italia ada
200-an masjid. “Kedatangan kami dari Australia disambut baik sebagai
dukungan moril yang kuat bagi berkembangnya Islam di Italia,” cerita
Lukman sambil tersenyum.
PERHATIAN PADA INDONESIA.
Dalam musyawarah bulanan di Folkner itu, Syaikh Muhtaz menekankan agar para karkun memberi perhatian khusus bagi Indonesia.
Ia bercerita, bahwa Maulana Hadraji rahmatullah
‘alaih, pimpinan gerakan tabligh sedunia yang baru wafat beberapa tahun
lalu, bermalam-malam tak bisa tidur setelah mendengar berita, bahwa
musuh-musuh Islam berencana meng-Kristen-kan Indonesia dalam waktu 50
tahun.
Di Australia sendiri, penampilan para aktivis tabligh
yang rendah hati dan menjauhkan diri dari soal-soal khilafiyah dan
politik praktis, cukup ampuh menyelesaikan berbagai ketidakharmonisan
hubungan antar ummat Islam. Pesan utama bayan atau ceramah para aktivis
tabligh biasanya berisi enam hal standar, yaitu tentang keutamaan
kalimah tayyibah (Laa ilaha illallaah, Muhammadan rasulullah); lalu
membesarkan nama Allah dengan shalat yang khusyu'; ilmu dan dzikir;
ikram (memuliakan) sesama muslimin; ikhlaskan niat; dan yang terakhir,
tentang pentingnya setiap individu muslim melakukan dakwah dan tabligh.
Menghindari soal khilafiyah dan siyasah (politik),
membuatnya mudah diterima oleh semua masyarakat. Rombongan jaulah yang
saya dan Shah ikuti adalah suatu contoh nyata.Dalam jaulah dua hari satu malam di akhir minggu, kami bergabung dengan jamaah 8 orang yang mayoritas terdiri dari keturunan Bosnia.
Masjid yang dipilih untuk beri’tikaf adalah Masjid
An-Nur milik masyarakat Kroasia. Terletak di kawasan Maidstone, 15 tahun
yang lalu bangunan kayu itu adalah sebuah gereja yang dibeli menjadi
masjid. Di sebelahnya ada sebuah bangunan yang lebih kecil, Islamic
Center-nya masyarakat Kroasia. Sudah jadi rahasia umum, bahwa walau
sesama muslim, orang Kroasia cenderung tak bisa akur dengan orang
Bosnia. Masjid Kroasia yang berada di dekat pemukiman komunitas Bosnia
itu tak pernah dikunjungi oleh orang Bosnia, kecuali orang Lebanon,
Eriteria, dan Somalia.
Sebaliknya, masyarakat Bosnia -yang dikenal
berperangai halus- sendiri akhirnya membangun masjid tak jauh dari
kawasan itu. Keputusan ini merupakan klimaks ketidakharmonisan hubungan
itu. Ironisnya, belum seratus persen masjid jadi, kaca-kacanya pecah
berantakan diserang beberapa orang Kroasia yang tak bertanggung jawab.
Cerita sedih ini tidak saya dapatkan dari brothers
Bosnia yang sejamaah dengan saya. Melainkan dari beberapa brothers
tempatan asal Aljazair, Fiji, dan Somalia
.
Di hari kedua jaulah, brothers dari Bosnia ini
lagi-lagi memilih sasaran yang menantang. Yakni sebuah masjid milik
masyarakat Turki yang dikenal keras, tak mau menerima rombongan tabligh
beri’tikaf di situ. Saya kagum pada ghirah saudara-saudara Bosnia ini.
Pengalaman beberapa hari di Melbourne sangat
mengesankan. Bertemu masyarakat muslim yang ghirah-nya kuat dan masjid
yang makmur membuat saya tak merasa menyesal karena tak sempat ke The
Great Ocean Road, sebuah kawasan pantai tebing yang terkenal indahnya.
Lokasinya 3 jam dari Melbourne ke Adelaide, South Australia.
Dalam perjalanan pulang ke Wagga, saya melirik ke
arah Shah. Di matanya ada semangat baru yang segar, yang sudah tak sabar
diguyurkan kepada teman-temannya. Agar kota kecil Wagga-wagga semakin
marak dengan dakwahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar